Skip to content

DEFINISI HILAL MENURUT SYAR’I

DEFINISI HILAL MENURUT SYAR’I

Oleh : A. Ghazalie Masroeri

(Ketua Lajnah Falakiyah NU)

Bahasa arab adalah bahasa al-Quran, bahasa al- Sunnah, bahasa ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu bahasa pengantar di PBB. Kaidah bahasa arab tidak sesederhana bahasa-bahasa lain di dunia. Ada 7 perangkat ilmu yang mempelajari bahasa arab. Sepatah kata dapat dipecah/ditashrif menjadi ratusan kata. Sepatah kata dapat mempunyai makna dua sampai puluhan.

Menguasai bahasa arab dengan baik menghampirkan ke kesempurnaan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah, termasuk petunjuk tentang hilal.

Berikut ini sekilas tinjauan terhadap definisi hilal dari sudut bahasa, al-Quran dan al-Sunnah.

II

Hilal Meurut Bahasa

Hilal dalam bahasa arab adalah sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal, yaitu ha-lam-lam (هـ – ل- ل), sama dengan asal terbentuknya fi’il (kata kerja) هل dan tashrifnya  اهل. Hilal (jamaknya ahillah) artinya bulan sabit, suatu nama bagi cahaya bulan yang nampak seperti sabit.  هل dan  اهل dalam konteks hilal mempunyai arti bervariasi sesuai dengan kata lain yang mendampinginya yang membentuk isthilahi (idiom). Bangsa arab sering mengucapkan :

–          هل الهلال dan  اهل الهلال  artinya bulan sabit tampak.

–          هل الرجل  artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.

–          اهل القوم الهلال    artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.

–          هل الشــهر   artinya bulan (baru) mulai dengan tampaknya bulan sabit.

Jadi menurut bahasa arab, hilal adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan dan dapat dilihat. Kebiasaan orang arab berteriak kegirangan ketika melihat hilal.

 

Hilal Menurut al-Qur’an

Al-Quran surat al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada nabi tentang ahillah (jamak dari hilal) :

يســألونك عن الأهــلة قل هي مواقيت للنــاس والحج ……..

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit; katakanlah : bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…”

 

Ayat ini menunjukkan bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktivitas manusia termasuk haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakkan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.

Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid I halaman 84 mengemukakan sebuah riwayat dari Abu Na’im dan Ibnu Asakir dari Abu Sholih dan Ibnu Abbas menceritakan :

 

ان معاذ بن جبل وثعلبة بن غبيمة قـالا : يارســول الله ,ما بال الهلال يبـــدو دقيقا مثل الخيط ثم يزيد حتي يعظم ويســتوي ويسـتدير, ثم لا يزال ينقص ويــدق حتي يعود كمــا كان, لايكون علي حــال….

“bahwa Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah beranya : ya Rasulullah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut cahayanya laksana benang, kemudian

bertambah sehingga membesar, merata dan bundar, dan kemudian berangsur-angsur menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula, tidak dalam satu bentuk …..”

 

As-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatuttafasir juz I halaman 125 mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut :

 

يســألونك يامحمد عن الأهـلة لم يبـــدو دقيـقا مثل الخيط ثم يعظم ويســتدير ثم ينقص ويدق حتي يعود كما كـان

“Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang, selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti semula”.

 

Dalam pada itu, Sayyid Quthub dalam tafsirnya fii Zhilalilqur’an juz I halaman 256 menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :

فهم يسـألون عن الأهلـة… ماسـأنها ؟ ما بال القمر يبدو هــلالا ثم يكبر يســتدير بـدرا ثم يأخــذ في التناقص حتي يرتـــد هـلالا ثم يختفي ليظـهر هـلالا من جديــد ؟

“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal)… bagaimana keadaan ahillah (hilal) ? mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama, selanjutnya berangsur  menyusut  sehingga kembali menjadi hilal lagi dan  kemudian  menghilang  tidak  tampak  untuk selanjutnya  menampakkan  hilal           dari (bulan) baru ?”

 

Jelaslah menurut ayat tersebut dan tafsirnya, bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.

 

Hilal Menurut As-Sunnah

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Rib’i bin Hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai akhir ramadhan kemudian dua orang A’rabi datang menghadap Rasulullah seraya mengatakan :

 

بالله لأهــل الهـلال امس عشــية

“demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore”

Atas laporan itu maka Rasulullah memerintahkan berbuka dan shalat ‘Ied hari esoknya (karena ketika itu sudah memasuki waktu zhuhur).

Hadits ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain seperti haditsnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah tersebut diatas :يارســول الله, مابال الهلال يبـدو دقيـــقا مثل الخيط..

Jadi hilal menurut bahasa, al-Qur’an/tafsir dan as-Sunnah adalah bulan sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat di awal blan, menjadi petunjuk datangnya bulan baru atau pergantian bulan.

 

III

Pengamatan terhadap penampakkan hilal telah membudaya di kalangan sahabat bahkan pengamatan itu dilakukan terhadap manzilah-manzilah bulan berikutnya sebagaimana diisyaratkan oleh hadits Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah dan riwayat lain yang diungkapkan oleh para mufassir seperti As-Shabuni dan Sayyid Quthub dalam tafsir mereka.

Al-Maraghi pun tertarik mengadakan pengamatan terhadap awal bulan dan manzilah-manzilah berikutnya sebagaimana ia ungkapkan ketika menafsirkan “waqaddarahu manaazila” dalam Q.S. yunus (10) : 5.

Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid 4 halaman 67 mengemukakan maksud ayat ini :

 

وقـدر سـير القمر في فلكه منازل ينزل كل ليـــلة في واحـد منها لايجاوزها ولايقصــر دونهــا وهي ثمابيــة وعشـرون يري القمر فيها بالأبصــار, وليـة او ليلتــان يحتجب فيهما فلايـــــري

“Allah menetapkan perjalanan bulan pada orbitnya beberapa manzilah; setiap malam menempati satu manzilah; tidak akan melampaui dan tidak berkurang dari padanya. Adapun manzilah-manzilah itu ialah 28 manzilah yang didalamnya bulan terlihat oleh mata, dan satu malam atau dua malam bulan tertutup, maka tidak dapat dilihat.”

Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa dari observasi bulan ia berkesimpulan :

  1. Awal bulan ditandai dengan penampakkan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam).
  2. 27 manzilah berikutnya, yakni tanggal 2 sampai 28, bulan dapat dilihat dengan mata.
  3. Manzilah ke-29 atau ke-30, bulan tidak dapat dilihat dengan mata.
  4. Umur bulan adakalanya 29 hari, adakalanya 30 hari, sejalan dengan hadits :

….الشهـــــر هكذا وهكذا (متفق عليه). قال البخـــــاري : يعني مرة تســـعة وعشــرين ومرة ثلاثـــــين

“…..umur bulan itu sekian dan sekian” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut Al-Bukhori sekian-sekian ialah kadang 29 hari dan kadang 30 hari.”

Penafsiran secara empirik dari pengamatan bulan tersebut juga dilakukan oleh Al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Yasin (36) : 39.

والقمــــرقدرناه منازل حتي عاد كالعــــرجون القديــم

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai manzilah yang terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua.”

 

Menyaksikan penampakkan hilal di awal bulan sangatlah penting untuk mengetahui pergantian bulan terutama ketika akan digunakan untuk beribadah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah (2) : 185

……..فمن شـــــهدمنكم الشهرفايصمـــــه……..

yang ia pahami dengan makna sebagai berikut : “barang siapa menyaksikan masuknya bulan ramadhan dengan melihat hilal sedang ia tidak bepergian, maka wajib berpuasa.”

 

IV

Dari paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hilal menurut syar’i adalah bulan sabit yang cahanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dengan mata di awal bulan sesaat setelah matahari terbenam, menjadi petunjuk datangnya bulan baru atau pergantian bulan

Hilal Bukan Sekedar Fenomena di Langit

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebelumnya telah kita bahas “Menentukan Awal Ramadhan dengan Hilal dan Hisab“. Artikel berikut adalah lanjutan dari artikel tersebut.

Sebagian orang punya anggapan bahwa hilal adalah fenomena yang ada di langit, yaitu dengan terlihatnya bulan sabit. Namun jika kita menelaah lebih dalam dari berbagai dalil Al Qur’an, hadits dan kalam ulama, kita akan temukan bahwa sebenarnya hilal bukan hanya sekedar seperti itu. Hilal selain jadi fenomena alam, juga harus diakui oleh mayoritas manusia. Sehingga hilal barulah dianggap jika mayoritas manusia memulai Ramadhan dan memulai berhari raya . Alangkah baiknya para pembaca rumaysho.com simak dengan seksama dalam artikel menarik berikut.

 

Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia

Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[1] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[2] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”

Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[3] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.

Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di  langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[4]

Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[5]

Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,

يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ

“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

Imam Ahmad juga mengatakan,

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[6]

Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?

Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?

Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[7]

Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

[1] Bukan terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.

[2] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan Majmu’ Al Fatawa, 25/114-115.

[4] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.

[5] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.

[6] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.

[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.

sumber : http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3129-hilal-bukan-sekedar-fenomena-di-langit.html?tmpl=component&print=1&layout=default&page=

Tarawih 20 Raka’at

Sholat Qiyam Ramadhan (sholat pada malam bulan Ramadhan) dinamakan Sholat Tarawih kerana sholat ini panjang dan banyak rakaatnya. Jadi, orang yang mendirikannya perlu berehat. Rehat ini dilakukan selepas mendirikan setiap 4 rakaat, kemudian mereka meneruskannya kembali (sehingga 20 rakaat). Sebab itulah ia dipanggil Sholat Tarawih[1].

Ibn Manzhur menyebutkan di dalam Lisan al-Arab: “ اَلتَّرَاوِيحُ “ adalah jama’ (plural) “ تَرْوِيحَةٌ “, yang bermaksud “sekali istirehat”, seperti juga “ تَسْلِيمَةٌ “ yang bermaksud “sekali salam”. Dan perkataan “Tarawih” yang berlaku pada bulan Ramadhan dinamakan begitu kerana orang akan beristirehat selepas mendirikan 4 rakaat[2].

Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur.

Dalil

a) Dalil lebih dari 8 rakaat:

i) Dalil nas khusus:

1) Hadith:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ مِن جَوْفِ اللَّيلِ لَيَالِي مِن رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّقَةٌ: لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، وَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيهَا، وَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، وَيُكَمِّلُونَ بَاقِيهَا فِي بُيُوتِهمْ

“Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم keluar untuk sholat malam di bulan Ramadhan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk sholat bersama umat di masjid. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم sholat bersama mereka sebanyak lapan rakaat, dan kemudian mereka menyempurnakan baki sholatnya di rumah masing-masing.”[Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.]

2) Dalam Sunan al-Baihaqi dengan isnad yang shahih sebagaimana ucapan Zain ad-Din al-Iraqi dalam kitab Syarh At-Taqrib, dari As-Sa’ib bin Yazid رضي الله عنه katanya:

كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Adalah para sahabat mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar bin Al-Khattab
pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”[As-Sunan al-Kubra, Al-Baihaqi, pada bab Apa yang diriwayatkan Tentang Bilangan Rakaat Qiyam pada Bulan Ramadhan, 2/496].

Hadith ini telah shahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Khulashah dan Al-Majmu’, dan ia diakui shahih juga oleh Az-Zayal’i dalam Nashb ar-Rayah, dishahihkan oleh As-Subki dalam Syarh al-Minhaj, Ibn al-Iraqi dalam Thorh at-Tathrib, Al-Aini dalam Umdah al-Qari, Imam Sayuthi dalam Al-Masabih fi Sholat at-Tarawih, Ali al-Qari dalam Syarh al-Muwaththo’ dan An-Naimawi dalam Athar as-Sunan dan para ulama’ lain[Tashhih Hadith Shalah at-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa Ar-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’ifih, karangan Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari, ms. 7].

3) Diriwayatkan dari Al-Hasan:

أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً

“Sesungguhnya Umar mengumpul orang ramai kepada Ubai ibn Ka’ab, lalu dia (Ubai)
mengimami sholat bersama mereka dengan dua puluh rakaat.”[Ibn Qudamah di dalam Al-Mughni mengatakan bahawa ia diriwayatkan oleh Abu Daud].

ii) Dalil nas umum:

Antara dalil lain dalam membolehkan ia dibuat lebih dari 11 rakaat ialah firman Allah Ta’ala:

1)

وَافْعَلُواْ الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan kerjakanlah amal-amal kebajikan; supaya kamu berjaya (di dunia dan di akhirat).”[Surah Al-Hajj: 77].

Mengerjakan amal kebajikan tidak disebutkan di dalam ayat ini secara khusus dan berapa bilangannya. Ia membawa maksud mengerjakan amal kebajikan sebanyak-banyaknya.

2) Disebutkan di dalam hadith:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ

“Sholat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat.”[Riwayat Al-Bukhari].

3) Imam Muslim meriwayatkan, Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:

اَلصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ فَمَن شَاءَ اِسْتَقَلَّ وَمَن شَاءَ اِسْتَكْثَرَ

“Sholat adalah (termasuk) amal yang terbaik, maka barang siapa berkehendak, dia (boleh) menyedikitkan bilangan rakaatnya dan barang siapa berkehendak, dia (boleh) memperbanyak (bilangan rakaatnya, iaitu menyedikit atau memperbanyakkan sholat sunat/ nawafil).”

iii) Kaedah Ushul

1) Kaedah Ushul Fiqh menyebutkan:

مَا أَكْثَرَ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرَ فَضْلاً

“Ibadah yang banyak perlakuannya (pekerjaannya), akan banyak mendapat fadhilat (pahala).”

Kaedah ini berdasarkan hadith Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم kepada Sayyidatuna ‘Aisyah, riwayat Imam Muslim:

أَجْرُكِ عَلَى نَصَبِكِ

“Pahalamu berdasarkan kadar usahamu.”

Sembahyang adalah ibadat badan yang paling afdhal selepas mengucap dua kalimah syahadah mengikut sebahagian ulama’[Sabil al-Muhtadin li At-Tafaqquh bi Amr al-Din, Al-Imam Al-Allamah Syaikh Muhammad Ahmad bin Abdullah al-Banjari, Thailand: Maktabah wa Matba’ah Muhammad al-Nahdi wa Auladih, t.t, 1/11]. Sholat Tarawih pula sangat istimewa kerana dilaksanakan pada bulan yang sangat istimewa. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم memberi khabar gembira bahawa satu ibadah sunat dilaksanakan pada bulan ini menyamai satu ibadah fardhu di bulan lain.

Hadith daripada Salman al-Farisi berkata:

خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم آخِرِ يَوْمٍ مِن شَعْبَانَ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظيمٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، شَهْرٌ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً وَقِيَامُ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَن تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ…

“Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah berkhutbah kepada kami pada hari terakhir bulan Syaaban dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu satu bulan yang agung lagi penuh keberkatan (bulan Ramadhan), itulah bulan yang ada padanya satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, bulan yang Allah jadikan berpuasa padanya suatu kewajipan dan berqiamullail (beribadat pada malam-malamnya) sebagai amalan sunat. Sesiapa yang mendekatkan dirinya kepada Allah pada bulan itu dengan melakukan amalan kebajikan (amalan sunat) maka ia mendapat pahala seperti melaksanakan perintah yang wajib dan sesiapa yang melakukan suatu amalan yang wajib pada bulan Ramadhan maka ia mendapat pahala seperti orang yang melakukan tujuh puluh (70) amalan fardhu selainnya (selain Ramadhan).”[Riwayat Ibn Khuzaimah di dalam Shahihnya.].

Pendapat para Ulama

Berdasarkan dalil dan kaedah di atas, para ulama’ dalam mazhab Syafi’e (Syafi’iyyah) mengistinbatkan bilangan rakaatnya seperti berikut:

1) Disebutkan di dalam Mukhtashar Al-Muzani:

أَنَّ اْلإِمَامَ الشَّافِعِيَّ رحمه الله قَالَ: رَأَيْتُهُمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ وَأَحَبَّ إِلَيَّ عِشْرُونَ لأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَكَذَلِكَ بِمَكَّةَ يَقُومُونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.

“Sesungguhnya Imam Syafi’e berkata: Aku telah melihat mereka di Madinah mendirikan (Solat Tarawih) denga 39 rakaat, dan aku menyukai 20 rakaat kerana telah diriwayatkan dari Umar. Dan begitu juga di Makkah, mereka mendirikan 20 rakaat dan mengerjakan Witir dengan 3 rakaat.”

2) Imam Nawawi berkata di dalam Syarh al-Muhazzab:

صَلاَةُ التَّرَاوِيحِ مِنَ النَّوَافِلِ الْمُؤَكَّدَةِ كَمَا دَلَّتْ عَلَى ذَلِكَ اْلأَحَادِيثُ الشَّرِيفَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً مِنْ غَيْرِ صَلاَةِ الْوِتْرِ، وَمَعَ الْوِتْرِ تُصْبِحُ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً … عَلَى ذَلِكَ مَضَتِ السُّنَّةُ وَاتَّفَقَتِ اْلأُمَّةُ، سَلَفًا وَخَلَفًا مِنْ عَهْدِ الْخَلِيفَةِ الرَّاشِدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه وأرضاه – إِلىَ زَمَانِنَا هَذَا … لَمْ يُخَالِفْ فِي ذَلِكَ فَقِيهٌ مِنَ اْلاَئِمَّةِ اْلأَرْبعَةِ الْمُجْتَهِدِينَ إِلاَّ مَا رُوِىَ عَنْ إِمَامِ دَارِ الْهِجْرَةِ مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ رضي الله عنه اَلْقَوْلُ بِالزِّيَادَةِ فِيهَا، إِلىَ سِتٍّ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً…فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ عَنْهُ – مُحْتَجًّا بِعَمَلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَقَدْ رُوِيَ عَن نَافِعٍ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ

“Sholat Tarawih termasuk di dalam sholat Nawafil yang muakkad seperti mana yang ditunjukkan perkara itu oleh hadith-hadith yang mulia yang telah disebut terdahulu. Ia adalah sebanyak dua puluh rakaat selain dari sholat Witir. (Jika) bersama Witir maka ia menjadi 23 rakaat…atas jalan inilah berlalunya sunnah dan sepakat ummah, dari kalangan Salaf dan Khalaf dari zaman Khulafa’ ar-Rasyidin Umar ibn Al-Khattab, semoga Allah meredhainya dan dia meredhaiNya juga sampailah ke zaman kita ini…Tidak ada seorang pun ahli feqah dari kalangan empat imam mazhab (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) membantah perkara ini, melainkan apa yang diriwayatkan dari Imam Dar al-Hijrah, Imam Malik bin Anas tentang pendapat yang lebih bilangannya pada sholat Tarawih kepada 36 rakaat…Dalam riwayat kedua daripada Imam Malik, iaitu dengan hujahnya beramal dengan amalan penduduk Madinah iaitu: Sesungguhnya diriwayatkan dari Nafi’ sesungguhnya dia berkata: Aku mendapati orang ramai mendiri Ramadhan (sholat Tarawih) dengan 39 rakaat dan mereka mendirikan Witir daripadanya sebanyak 3 rakaat…”[3/527].

Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni seorang ulama’ besar dan ahli tafsir yang sangat terkenal kerana ilmu dan wara’nya, dari Makkah. Beliau pernah menyandang jawatan Ketua Fakulti Syari‘ah di Universiti Umm al-Qura’, Makkah, menambah:

…أَمَّا الرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْهُ، هِيَ الَّتِي وَافَقَ فِيهَا الْجُمْهُورُ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ عَلَى أَنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً وَعَلَى ذَلِكَ اتَّفَقَتِ الْمَذَاهِبُ اْلأَرْبعَةُ وَتَمَّ اْلإجْمَاعُ.

“Adapun riwayat yang masyhur daripada Imam Malik, iaitulah yang diittifaqkan Jumhur ulama’ dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah atas sholat Tarawih itu 20 rakaat. (Oleh itu) atas sebab perkara itulah (iaitu riwayat yang kedua ini), maka jadilah (sholat Tarawih sebanyak 20 rakaat) adalah ittifaq empat mazhab dan lengkaplah (ia menjadi) ijma’.”[seorang ulama’ besar dan ahli tafsir yang sangat terkenal kerana ilmu dan wara’nya, dari Makkah. Beliau pernah menyandang jawatan Ketua Fakulti Syari‘ah di Universiti Umm al-Qura’, Makkah].

Pendapat mazhab lain:

1) Mazhab Hanafi

Syaikh As-Sarakhsi menyebutkan:

إِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ عِندَنَا، وَقَالَ مَالِكٌ: اَلسُّنَّةُ فِيهَا سِتَّةٌ وَثَلاَثونَ

“Sesungguhnya ia (Tarawih) 20 rakaat selain Witir di sisi kami, dan Malik berkata: Sunnah padanya 36 rakaat.”[Al-Mabsuth, As-Sarakhsi, 2/144].
Syaikh Al-Kasani menyokong pendapat tersebut dengan mengatakan:

وَأَمَّا قَدْرُهَا فَعِشْرُونَ رَكْعَةً فِي عَشَرِ تَسْلِيمَاتٍ، فِي خَمْسِ تَروِيحَاتٍ، كُلُّ تَسْلِيمَتَيْنِ تَرْوِيحَةٌ، وَهَذَا قَوْلُ عَامَّةِ الْعُلمَاءِ

“Dan adapun kadarnya maka (ia adalah) 20 rakaat dalam 10 kali salam, 5 kali rehat, setiap 2 kali salam ada 1 rehat. Dan inilah pendapat kebanyak ulama’.”[Bada’i’ ash-Shana’i’, Al-Kasani, 1/288].
Pendapat ini disokong pula oleh Al-Allamah Ibn Abidin di dalam Hasyiahnya:

(قَوْلُهُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً) هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَعَلَيْهِ عَمَلَ النَّاسُ شَرْقًا وَغَرْبًا

“(Perkataannya: Dan ia 20 rakaat) adalah pendapat jumhur, dan atas pendapat inilah orang ramai beramal di timur dan barat.”[Radd al-Mukhtar ‘ala Ad-Durr al-Mukhtar yang dikenali dengan Hasyiah Ibn Abidin, 2/46].

2) Mazhab Maliki

Apa yang masyhur dalam mazhab Maliki ialah pendapat yang mengikut jumhur (iaitu 20 rakaat). Al-Allamah Ad-Dardir berkata:

(وَالتَّرَاوِيحُ ): بِرَمَضَانَ (وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً) بَعْدَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ، يُسَلِّمُ مِن كُلِّ رَكْعَتَيْنِ غَيْرَ الشَّفع وَالْوِتْرِ. (وَ) نَدِبَ (الْخَتْمُ فِيهَا): أَيْ اَلتَّرَاوِيحِ، بِأَن يَقْرَأَ كُلَّ لَيْلَةٍ جُزْءًا يُفَرِّقُهُ عَلَى الْعِشْرِينَ رَكْعَةً.

“(Dan Tarawih): pada bulan Ramadhan (iaitu 20 rakaat) selepas Sholat Isya’, salam pada setiap 2 rakaat selain…. Dan Witir. (Dan) Sunat (mengkhatamkan Al-Quran dalamnya): iaitu ketika Tarawih dengan cara membaca satu juzu’ pada setiap malam yang dibahagi-bahagi dalam 20 rakaat.”[ Asy-Syarh ash-Shaghir, Ad-Dardir, di tepinya ada Hasyiah Al-Allamah Ash-Shawi, 1/404-405].
Al-Allamah An-Nafrawi menyebutkan pendapat yang menguatkan pendapat jumhur ulama’ (20 rakaat) dan pengikut mazhab Maliki kembali kepada pendapat ini kerana ia adalah salah satu pendapat Imam Malik sendiri dengan katanya:

(كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ) وَهُمُ الصَّحَابَةُ (يَقُومُونَ فِيهِ) فِي زَمَنِ خِلاَفَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ. وَبِأَمْرِهِ كَمَا تَقَدَّمَ (فِي الْمَسَاجِدَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً) وَهُوَ اِخْتِيَارُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ. وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ اْلآنَ فِي سَائِرِ اْلأَمْصَارِ. (ثُمَّ) بَعْدَ صَلاَةِ الْعِشْرِينَ ( يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ) مِن بَابِ تَغْلِيبِ اْلأَشْرَفِ لاَ أَنَّ الثَّلاَثَ وِتْرٌ، لأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَاحدَةٌ كَمَا مَرَّ، – إِلَى أَن قَالَ – وَاسْتَمَرَّ عَمَلَ النَّاسُ عَلَى الثَّلاَثَةِ وَالْعِشْرِينَ شَرْقًا وَغَرْبًا. (ثُمَّ) بَعْدَ وَقَعَةِ الْحَرَّةِ بِالْمَدِينَةِ (صَلُّوا) أَيْ اَلسَّلَفُ الصَّالِحُ غَيْرَ الَّذينَ تَقَدَّمُوا، لأَنَّ الْمُرَادَ بِهمْ هُنَا مَن كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ (بَعْدَ ذَلِكَ) اَلْعَدَدُ الَّذِي كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ (سِتًّا وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً غَيْرَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ) – إِلَى أَن قَالَ – : وَهَذَا اِخْتَارَهُ مَالِكٌ فِي الْمُدَوَّنَةِ وَاسْتَحْسَنَهُ. وَعَلَيْهِ عَمَلَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ. وَرَجَحَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ اَلأَوَّلَ الَّذِي جَمَعَ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ النَّاسَ عَلَيْهَا لاِسْتِمْرَارِ الْعَمَلِ فِي جَمِيعِ اْلأَمْصَارِ عَلَيْهِ.

“Adalah Salafus Soleh) iaitu para sahabat (mendirikan padanya) iaitu pada zaman kekhalifahan Umar bin Al-Khattab. Dan dengan arahannya seperti yang disebutkan terdahulu (untuk mendirikannya) (di masjid-masjid dengan 20 rakaat) iaitulah pendapat yang dipilih oleh Abu Hanifah, Syafi’e dan Ahmad, dan itulah yang diamalkan sekarang di seluruh tempat. (Kemudian) selepas sholat 20 rakaat (mereka mendirikan Witir dengan 3 rakaat) iaitu termasuk dalam bab melebihkan, bukanlah 3 rakaat itu dinamakan Witir, kerana Witir itu 1 rakaat sahaja seperti yang telah dijelaskan…-sehinggalah kepada perkataannya- Dan berterusanlah perbuatan orang ramai dengan 23 rakaat ini, di timur dan barat. (Kemudian) selepas berlakunya kemarau di Madinah (mereka sembahyang) iaitu ‘Salafus Soleh’ bersembahyang tidak seperti yang mereka telah dilakukan. Yang dimaksudkan ‘Salafus Soleh’ di sini ialah mereka yang berada pada masa Umar bin Abdul Aziz (selepas itu) (tidak seperti) bilangan yang telah dilakukan pada masa Umar bin Al-Khattab (iaitu dalam masa Umar bin Abdul Aziz, mereka melakukannya dengan) (36 rakaat tidak termasuk genap dan Witir) – sehinggalah kepada perkataannya-: Dan inilah yang dipilih oleh Imam Malik di dalam mudawwanah dan dia menganggap ia adalah baik (iaitu 36 rakaat itu). Dan pendapat ini menjadi pegangan penduduk Madinah. Dan sebahagian pengikut Imam Malik pendapat pertama (iaitu 20 rakaat) yang mana Umar bin Al-Khattab telah mengumpul orang ramai dengan bilangan ini agar amalan ini berterusan dilakukan di seluruh tempat.”[ Al-Fawakih ad-Dawani, An-Nafrawi, 1/318-319].

3) Mazhab Hanbali

Al-Allamah Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata:

وَالْمُخْتَارُ عِندَ أَبِي عَبْدِ اللهِ فِيهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً. وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَّةُ وَثَلاَثُونَ. وَزَعَمَ أَنَّهُ اْلأَمْرَ الْقَدِيمَ، وَتَعَلَّقَ بِفِعْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، فَإِنَّ صَالِحًا مَوْلَى التَّوْأَمَةَ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ منْهَا بِخَمْسٍ.

“Dan (pendapat) yang dipilih di sisi Abu Abdullah (gelaran kepada Imam Ahmad bin Hanbal) padanya 20 rakaat. Dan inilah juga pendapat Sufyan Ath-Thuri, Abu Hanifah dan Syafi’e. Malik berkata: 36 (rakaat). Beliau mendakwa ia adalah perkara yang lama dan menghubungkan pendapatnya dengan perbuatan penduduk Madinah. Soleh maula kepada At-Tau’amah berkata: Aku mendapati orang ramai mendirikan (Sholat Tarawih) sebanyak 40 rakaat dan melakukan Sholat Witir 5 rakaat.”[Al-Mughni, 1/456].

Al-Allamah Al-Bahuti menukilkan pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanbali dengan katanya:

سُمِيَتْ بِذَلِكَ لأَنَّهُمْ يَجْلِسُونَ بَيْنَ كُلِّ أَرْبَعَ يَسْتَرِيحُونَ، وَقِيلَ مَشَقَّةٌ مِنَ الْمَرَاوَحَةِ وَهِيَ التِّكْرَارُ فِي الْفِعْلِ، وَهِيَ (عِشْرُونَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ) لِمَا رَوَى مَالِكٌ، عَن يَزِيدٍ بْنِ رُومَانَ، قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ.

“Dinamakan begitu kerana mereka duduk di antara setiap 4 rakaat berehat. Dan dikatakan, kesusahan dari…. Iaitu pengulangan pada perbuatan iaitu (20 rakaat pda bulan Ramadhan) mengikut apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman berkata: “Adalah manusia mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.”[Riwayat Malik dalam Al-Muwaththo’. Lihat Kasysyaf al-Qina’, Al-Bahuti, 1/425].

sumber : http://salafytobat.wordpress.com/?s=

Maulid dan Pembacaan Al Barjanji

♦ Kita diperintahkan untuk memperingati hari-hari Alloh :

[14:5] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah¹“. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (QS Ibrahim 5)

(1. Hari/peristiwa dimana Allah memberikan Nikmat kepada Orang-orang yang beriman dan Hari/peristiwa dimana Allah menimpakan azab bagi orang orang kafir)

Peristiwa Maulid Nabi adalah peristiwa terbesar dalam sejarah ummat manusia bahkan sebuah peristiwa agung ditinjau dari maksud dan tujuan dari penciptaan seluruh makhluk.

♦ Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162).

♦ Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid

Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

♦ Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi Saw.

Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)

♦ Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?

Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya kerana padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.

Amalan umat islam ahlusunnah wal jamaah pada saat “maulid”

ο Membaca Shalawat

Alloh Swt berfirman : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”  (Surat Al-ahzab 56)

Sebagaimana diketahui, setiap tanggal 12 Rabiul Awal, kita memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini dimaksudkan untuk mengingat tiga peristiwa besar yang dialami oleh Rasulullah SAW, yakni kelahiran, Hijrah dan wafatnya Muhammad SAW.

ο Membaca sirah/kisah Nabi Muhammad SAW (Dalam bentuk syair maupun bayan/ceramah)

Sirah, atau sejarah hidup Rasulullah SAW itu sangat perlu dibaca dan dikaji karena penuh inspirasi dan bisa memantapkan iman. Allah SWT berfirman :

” Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”(QS Hud 120)

sumber : http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/04/sunnah-maulid-nabi-allah-pun-merayakan-maulid-nabi-nabi/

Ziarah Kubur

A. Sunnahnya Ziarah kubur

Ziarah kubur adalah mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.
Ketahuilah berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah saw, beliau saw bersalam dan berdoa di Pekuburan Baqi’, dan berkali kali beliau saw melakukannya, demikian diriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan Muslim, dan beliau saw bersabda : “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim hadits no.977 dan 1977)

Dan Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur dengan ucapan “Assalaamu alaikum Ahliddiyaar minalmu’minin walmuslimin, wa Innaa Insya Allah Lalaahiquun, As’alullah lana wa lakumul’aafiah..” (Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk penduduk dari Mukminin dan Muslimin, Semoga kasih sayang Allah atas yg terdahulu dan yang akan datang, dan Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian) (Shahih Muslim hadits no 974, 975, 976). Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersalam pada Ahli Kubur dan mengajak mereka berbincang-bincang dengan ucapan “Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian”.

Rasul saw berbicara kepada yg mati sebagaimana selepas perang Badr, Rasul saw mengunjungi mayat mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’, wahai syaibah bin rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yg dijanjikan Allah pada kalian…?!, sungguh aku telah menemukan janji tuhanku benar..!”, maka berkatalah Umar bin Khattab ra : “wahai rasulullah.., kau berbicara pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”, Rasul saw menjawab : “Demi (Allah) Yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama sama mendengarku), akan tetapi mereka tak mampu menjawab” (shahih Muslim hadits no.6498).

Makna ayat : “Sungguh Engkau tak akan didengar oleh yg telah mati”.
Berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yg dimaksud orang yg telah mati adalah orang kafir yg telah mati hatinya dg kekufuran, dan Imam Qurtubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yg terbunuh di perang Badr. (Tafsir Qurtubi Juz 13 hal 232).

Berkata Imam Attabari rahimahullah dalam tafsirnya bahwa makna ayat itu : bahwa engkaua wahai Muhammad tak akan bisa memberikan kefahaman kepada orang yg telah dikunci Allah untuk tak memahami (Tafsir Imam Attabari Juz 20 hal 12, Juz 21 hal 55, )

Berkata Imam Ibn katsir rahimahullah dalam tafsirnya : “walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna ucapan Rasul saw pada mayat mayat orang kafir pada peristiwa Badr, namun yg paling shahih diantara pendapat para ulama adalah riwayat Abdullah bin Umar ra dari riwayat riwayat shahih yg masyhur dengan berbagai riwayat, diantaranya riwayat yg paling masyhur adalah riwayat Ibn Abdilbarr yg menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas ra dg riwayat Marfu’ bahwa : “tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara uslimnya didunia, terkecuali Allah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”, dan hal ini dikuatkan dengan dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul saw memerintahkan mengucapkan salam pada ahlilkubur, dan salam hanyalaha diucapkan pada yg hidup, dan salam hanya diucapkan pada yg hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan karena riwayat ini maka mereka (ahlil kubur) adalah sama dengan batu dan benda mati lainnya. Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan hal ini, dan telah muncul riwayat yg mutawatir (riwayat yg sangat banyak) dari mereka, bahwa Mayyit bergembira dengan kedatangan orang yg hidup ke kuburnya”. Selesai ucapan Imam Ibn Katsir (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 3 hal 439).

Rasul saw bertanya2 tentang seorang wanita yg biasa berkhidmat di masjid, berkata para sahabat bahwa ia telah wafat, maka rasul saw bertanya : “mengapa kalian tak mengabarkan padaku?, tunjukkan padaku kuburnya” seraya datang ke kuburnya dan menyolatkannya, lalu beliau saw bersabda : “Pemakaman ini penuh dengan kegelapan (siksaan), lalu Allah menerangi pekuburan ini dengan shalatku pada mereka” (shahih Muslim hadits no.956)

Abdullah bin Umar ra bila datang dari perjalanan dan tiba di Madinah maka ia segera masuk masjid dan mendatangi Kubur Nabi saw seraya berucap : Assalamualaika Yaa Rasulallah, Assalamualaika Yaa Ababakar, Assalamualaika Ya Abataah (wahai ayahku)”. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.10051)

Berkata Abdullah bin Dinar ra : Kulihat Abdullah bin Umar ra berdiri di kubur Nabi saw dan bersalam pada Nabi saw lalu berdoa, lalu bersalam pada Abubakar dan Umar ra” (Sunan Imam Baihaqiy ALkubra hadits no.10052)

Sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yg pergi haji, lalu menziarahi kuburku setelah aku wafat, maka sama saja dengan mengunjungiku saat aku hidup (Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits no.10054).

Dan masih banyak lagi kejelasan dan memang tak pernah ada yg mengingkari ziarah kubur sejak Zaman Rasul saw hingga kini selama 14 abad (seribu empat ratus tahun lebih semua muslimin berziarah kubur, berdoa, bertawassul, bersalam dll tanpa ada yg mengharamkannya apalagi mengatakan musyrik kepada yg berziarah, hanya kini saja muncul dari kejahilan dan kerendahan pemahaman atas syariah, munculnya pengingkaran atas hal hal mulia ini yg hanya akan menipu orang awam, karena hujjah hujjah mereka Batil dan lemah.

Dan mengenai berdoa dikuburan sungguh hal ini adalah perbuatan sahabat radhiyallahu’anhu sebagaimana riwayat diatas bahwa Ibn Umar ra berdoa dimakam Rasul saw, dan memang seluruh permukaan Bumi adalah milik Allah swt, boleh berdoa kepada Allah dimanapun, bahkan di toilet sekalipun boleh berdoa, lalu dimanakah dalilnya yg mengharamkan doa di kuburan?, sungguh yg mengharamkan doa dikuburan adalah orang yg dangkal pemahamannya, karena doa boleh saja diseluruh muka bumi ini tanpa kecuali.

B. Bolehnya shalat dimasjid yang ada Kuburan Asal tidak menjadikan kuburan sebagai Kiblat

Berkata Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar : “Berkata Imam Al Baidhawiy : ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung patungnya, maka Rasul saw melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dg merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yg dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525)

Kita akan lihat ucapan para Imam :
1. Berkata Guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Syafii rahimahullah : “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid, (*Imam syafii tidak mengharamkan memuliakan seseorang hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau mengatakannya makruh), karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain, dan hal yg tak diperbolehkan adalah membangun masjid diatas makam setelah jenazah dikuburkan, Namun bila membangun masjid lalu membuat didekatnya makam untuk pewakafnya maka tak ada larangannya”. Demikian ucapan Imam Syafii (Faidhul qadir Juz 5 hal.274).

2. Berkata Imam Al Muhaddits Ibn Hajar Al Atsqalaniy : “hadits hadits larangan ini adalah larangan shalat dg menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sah nya shalat, (*maksudnya bilapun shalat diatas makam, atau mengarah ke makam tanpa pembatas maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar ra berkata : kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).

Darisini diambil kesimpulan bahwa shalat menghadap kuburan tidak haram dan tetap sah shalatnya, namun makruh, dan makruh adalah tidak dosa bila dikerjakan dan mendapat pahala bila ditinggalkan.

Berkata Imam Al Baidhawiy : bahwa Kuburan Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam masjidilharam) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yg sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251)

jelaslah bahwa yg dimaksud shalat menghadap kuburan adalah yg langsung berhadapan dengan kuburan yg telah digali, bukan kuburan yg tertutup tembok atau terhalang dinding.

Rasul saw menyalatkan seorang yg telah dikuburkan, beliau shalat gaib menghadap kuburannya tanpa dinding atau penghalang, yaitu langsung menghadap kuburan

Maka telah jelas bahwa larangan adalah :
• Membangun masjid diatas kuburan untuk menyembah kuburan para nabi.
• Larangan membangun masjid yg “sengaja” menghadapkan kiblatnya ke kuburan untuk menyembahnya.

Kita memahami bahwa Masjidirrasul saw itu diperluas dan diperluas, namun bila saja perluasannya itu akan menyebabkan hal yg dibenci dan dilaknat Nabi saw karena menjadikan kubur beliau saw ditengah tengah masjid, maka pastilah ratusan Imam dan Ulama dimasa itu telah memerintahkan agar perluasan tidak perlu mencakup rumah Aisyah ra (makam Rasul saw),

Perluasan adalah di zaman khalifah Walid bin Abdulmalik sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, sedangkan Walid bin Abdulmalik dibai’at menjadi khalifah pd 4 Syawal th 86 Hijriyah, dan ia wafat pada 15 Jumadil Akhir pd th 96 Hijriyah, lalu dimana Imam Bukhari? (194 H – 256 H), Imam Muslim? (206 H – 261H), Imam Syafii? (150 H – 204 H), Imam Ahmad bin Hanbal? (164 H – 241 H), Imam Malik? (93 H – 179 H), dan ratusan imam imam lainnya?, apakah mereka diam membiarkan hal yg dibenci dan dilaknat Rasul saw terjadi di Makam Rasul saw?, anda kira orang yg beriman itu hanya sahabat kah?, lalu Imam Imam yg hafal ratusan ribu hadits itu adalah para musyrikin yg bodoh dan hanya menjulurkan kaki melihat kemungkaran terjadi di Makam Rasul saw??, munculkan satu saja dari ucapan mereka yg mengatakan bahwa perluasan Masjid nabawiy adalah makruh.
TIDAK ADA..! itu hanya muncul dari kedangkalan pemahaman anda.

Justru inilah jawabannya, mereka diam karena hal ini diperbolehkan, bahwa orang yg kelak akan bersujud menghadap Makam Rasul saw itu tidak satupun yg berniat menyembah Nabi saw, atau menyembah Abubakar ra atau Umar bin Khattab ra, mereka terbatasi dengan tembok, maka hukum makruhnya sirna dengan adanya tembok pemisah, yg membuat kubur2 itu terpisah dari masjid, maka ratusan Imam dan Muhadditsin itu tidak melarang perluasan masjid Nabawiy.

Membaca Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)

Tarjamahannnya :

Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.

Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.

Berkata Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.

Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.

Berkata Al- Hasan  bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !

Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.

Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.

Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !

Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.

(Tarjamah Kitab Ar-ruh  Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , Ustaz Syed Ahmad Semait, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1990, halaman 17 – 19)

untuk keterangan dan bukti scan kitab yang lain silahkan lihat di :

Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburan