Skip to content

Keseimbangan Dunia dan Akhirat

14/07/2011

Sudah seringkali kita mendengar atau diingatkan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Para dai atau orang yang mengingatkan biasanya memakai dalil-dalil berikut

  • Doa Sapu Jagad :“Rabbana aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah”.
  • Hadist popular ini: I’mal lidunyaaka kaannaka ta’iesyu abadan wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”.
  • Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77 : “Wabtaghi fiimaa aataakallahu ‘d-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min ad-dunya….” yang menurut terjemahan Depag diartikan,“Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.

Kita pada umumnya tanpa dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.

Melihat secara proporsional

Mampukah diri kita  benar-benar menjaga keseimbangan duniawi dan ukhrowi?

Kita harus tahu bahwa Agama Islam tidah pernah menyamakan nilai dunia dan akherat, hal ini bisa kita lihat dari dalil-dalil berikut ini.

  • Sedangkan kamu (orang-orang kafir ) memilih kehidupan dunia [16], padahal kehidupan akhirat itu lebih baik, dan lebih kekal [17]  (Q.S Al-A’la :16-17)
  • “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” [14] . “Katakanlah, ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu? Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rab mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan, (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan, serta keridaan Allah. Dan, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” [15]  ( Q.S Ali Imran: 14-15 )
  • “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu, serta membangga-banggakan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan, di akhirat nanti ada azab yang keras, dan ampunan, serta keridaan-Nya. Dan, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” ( Q.S Al-Hadid: 20 ).

Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.

Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a’maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.

Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a’lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).

Juga dalil I’mal lidunyaaka… –seandainya pun benar merupakan Hadist shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.

Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?

Kebaikan di akhirat yang terutama adalah surga. Idealnya kita mampu mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qasim Abu Abdurrahman mengatakan, “Barang siapa di anugerahi hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan diri yang sabar, berarti dia telah diberikan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, serta dilindungi dari azab neraka. Oleh karena itu, sunah Rasulullah saw. menganjurkan doa tersebut.”

Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang).

Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a’lam.

From → Pelangi

One Comment
  1. Hi, this is a comment.
    To delete a comment, just log in, and view the posts’ comments, there you will have the option to edit or delete them.

Leave a comment